My Father – I

Posted on Updated on

THE LAST 18 DAYS WITH MY FATHER

لَبَّيْْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. Laa syarika laka.

Ya Allah, aku datang karena panggilanMu. Tiada sekutu bagiMu. Segala nikmat dan puji adalah kepunyaanMu dan kekuasaanMu. Tiada sekutu bagiMu.

Tulisan ini kupersembahkan dalam rangka memperingati 1 tahun wafatnya ayahanda tercinta yang jatuh pada tanggal 9 April 2015 nanti. Ayah meninggal tepat 7 hari setelah pulang menunaikan ibadah Umroh. Sebenarnya tulisan ini sudah dimulai sejak beberapa bulan ayah meninggal pada tanggal 9 April 2014, bertepatan pelaksanaan Pemilihan Umum Calon Legislatif. Tulisan ini dapat terselesaikan setelah beberapa bulan penulisan di waktu luangku. Karena panjang maka tulisan ini akan aku bagi menjadi 4 bagian.

Kisah berawal pada tahun 2008 saat usia ayahku menginjak 70 tahun. Walaupun tubuhnya masih terlihat segar, beberapa penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Ayah dan ibuku tinggal bersama adik perempuanku di Bandar Lampung. Butuh waktu paling tidak 8 jam dari Palembang untuk berkunjung ke rumah ayahku. Saat itu aku baru sadar bahwa usia ayah sudah melewati usia Rasulullah, yaitu 63 tahun. Teringat dalam salah satu kisah bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur umatku berkisar antara 60 sampai 70 tahun, amat sedikit dari mereka yang lebih dari itu.”

(HR. Al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

Bukan bermaksud mendahului takdir Allah SWT, saat itulah aku mulai menyadari bahwa waktu yang tersisa untuk terus berkumpul dengan ayah hanya menyisakan sedikit waktu. Entah kapan pasti akan tiba juga waktunya. Saat itu aku mulai menyiapkan mental untuk dapat menerima apabila setiap saat ayahku dipanggil oleh Sang Pencipta. Setiap hari dan bulan yang berlalu menjadi begitu berharga. Setiap dering telepon bahkan SMS dari adikku yang kuterima membuat hatiku bergetar. Terlebih bila berdering di malam hari. Pikiranku langsung tertuju kepada kabar ayahanda yang jauh di sana.

Kusadari apa yang aku lakukan untuk membahagiakan dan membalas budi ayahku tak seberapa berarti. Menurutku tak seujung kuku pun apa yang pernah kuberikan padanya.

Ka’bah yang dirindukan

Dua tahun kemudian tepatnya tahun 2010 pertama kalinya ayah masuk rumah sakit dan harus dirawat inap beberapa hari karena penyakit yang dideritanya. Menjelang senja teleponku berdering. Adikku mengabarkan bahwa ayah sedang terbaring di rumah sakit. Malam itu segera aku berangkat dan menjelang subuh aku tiba di rumah sakit. Hatiku terharu melihat ayahku tengah tertidur di ranjang, sementara ibu menunggui disampingnya. Tanpa terasa air mata pun menetes. Setelah 4 malam di rumah sakit akhirnya Allah masih memberikan kesembuhan kepada ayah.

Satu tahun berikutnya sekitar pukul 9 malam, kembali mendapat kabar dari adikku yang mengabarkan bahwa ayah masuk rumah sakit. Pukul 11 malam mobil sewaan pun akhirnya kudapatkan. Tengah malam itu juga aku dan anak istriku berangkat dengan perasaan gundah gulana. Sekitar pukul 7 pagi kami pun tiba di rumah sakit tempat ayah dirawat.

Ayah – Okt 2007

Beberapa hari di rumah sakit menemani ayah, aku berusaha membangkitkan semangat hidupnya kembali. Ibu bercerita bahwa ayah sudah bosan minum obat dan beberapa temannya yang sudah berpulang menghadap Illahi. Hingga pada suatu kesempatan saat bercakap-cakap dengan ayah di rumah sakit aku menjanjikan kepada ayah untuk menunaikan ibadah umroh bersamaku.

Janji ini kuucapkan agar semangat hidupnya tumbuh kembali. Sebenarnya saat itu aku sudah berencana menunaikan ibadah umroh bersama istri. Walaupun aku sendiri tidak dapat memastikan kapan kami dapat berangkat mengingat uang yang kami miliki belum cukup untuk memberangkatkan satu orang pun. Melihat usia ayah yang makin tua, sakit-sakitan dan belum menunaikan ibadah haji, menurutku paling tidak ayah harus berangkat menunaikan ibadah umroh.

Akupun menyampaikan niat ini kepada istriku. Bersyukur memiliki istri yang memahami niat baik untuk menyenangkan ayahku. Mungkin inilah kesempatan terakhirku untuk berbakti. Setelah dirawat beberapa hari, Alhamdulillah Allah kembali masih memberikan kesembuhan dan segera pulang ke rumah. Aku meminta adikku untuk membuatkan paspor untuk ayah.

Di Rumah Lampung - Agust 2013
Ayah – Agustus 2013

Hari berganti, bulan pun berlalu. Pada saat aku masih ingin ayah ada di dunia ini, waktu terasa berjalan cepat seperti ingin segera merenggutnya dari kami. Selesai shalat aku selalu berdoa meminta kepada Allah agar dipanjangkan waktu ayahku di dunia ini sehingga aku berkesempatan membawa ayah menunaikan ibadah umroh. Aku berdoa agar ayah diberikan kesehatan dan kekuatan hingga dapat menunaikan ibadah umroh (Doa ini akhirnya kubalik nantinya pada saat ayah dirawat di rumah sakit sepulang Umroh). Aku berdoa agar dilapangkan rezeki sehingga aku dapat segera melunasi biaya umroh untuk kami berdua.

Akhirnya menjelang akhir tahun 2013 uang terkumpul cukup untuk melunasi biaya umroh. Dengan penuh semangat aku melunasi biaya umroh, melengkapi dokumen dan tak lupa meminta kepastian jadwal keberangkatan kami. Kami segera mempersiapkan diri menyambut keberangkatan menuju Baitullah yang kami rindukan selama ini. Ayah pun mempersiapkan fisiknya dengan olah raga jalan pagi dan sore agar kuat saat menjalankan prosesi ibadah umroh nanti.

Jadwal keberangkatan perjalanan direncanakan awal Januari 2014. Perlengkapan ibadah umroh sudah dipersiapkan matang. Dokumen umroh pun sudah beres. Tak sabar untuk segera menunaikan janjiku membawa ayah melaksanakan ibadah umroh sebagaimana yang telah kujanjikan 3 tahun yang lalu. Dua minggu menjelang tanggal keberangkatan terasa berjalan lambat. Hari-hari serasa enggan berlalu. Hari-hari yang berlalu terasa sangat berbeda saat kami berharap Allah memberikan banyak waktu untuk bersama ayah.

Manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan jualah yang maha menentukan. Beberapa hari menjelang tanggal keberangkatan aku mendapat kabar dari biro perjalanan bahwa tanggal keberangkatan kami ditunda menjadi tanggal 24 Maret 2014. Perasaan kesal, dongkol, marah, sedih dan pasrah bercampur menjadi satu. Ini berarti aku harus menunggu hampir 3 bulan lagi untuk menunaikan janjiku pada ayah. Di satu sisi aku berdoa meminta Allah memberikan waktu agar dapat berlama-lama bersama ayah, sementara di sisi lain aku tidak ingin berlama-lama menunggu tiba waktunya berangkat menuju Baitullah bersama ayah yang semakin tua. Ayah yang semakin susah berjalan.

Di saat-saat inilah aku merasa waktu menunggu sekitar tiga bulan terasa sangat lama sekali berlalu. Aku khawatir kesehatan ayah memburuk. Aku takut ayah kembali masuk rumah sakit. Yang paling aku takutkan adalah waktuku bersama ayah juga habis, dengan kata lain aku tidak diberikan kesempatan menunaikan janjiku.

Dirawat di Rumah Sakit
Di Rumah Sakit – April 2014

Kekhawatiranku pun akhirnya terjadi. Kondisi tubuh ayah yang semakin melemah karena penyakit lamanya menyebabkan penyakit baru muncul, yaitu sakit jantung. Adikku mengabarkan bahwa dalam sehari penyakit jantung ayah dapat kambuh beberapa kali. Beruntung adikku seorang perawat sehingga mengerti cara perawatannya.

Suatu hari di akhir bulan Februari 2014 sekitar 3 minggu menjelang tanggal keberangkatan menunaikan ibadah umroh, ayah kembali harus dirawat di rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Aku dan anak istrikupun segera berangkat setelah mendapat kabar sore itu. Menjelang subuh kami tiba di rumah sakit. Terlihat tubuh ayah terbaring lemah. Aku berdoa semoga tuhan masih memberikan aku kesempatan untuk menunaikan janjiku. Pagi itu akhirnya kami masih melihat ayah tersenyum ketika terjaga walaupun tubuhnya masih terhuyung-huyung.

Hari itu juga kakak tertua datang menjenguk ayah di rumah sakit. Dengan bersemangat ayah menyampaikan kepada kakak bahwa ia akan Umroh bersama aku. Beruntung kondisi ayah semakin membaik dari hari ke hari. Aku dan adikku menyampaikan kepada dokter apakah dengan kondisi ayah yang seperti ini masih memungkinkan untuk menunaikan umroh. Ya, 3 minggu lagi aku akan Umroh bersama ayah. Umroh??? Dokter seperti terkejut dan agak lama menjawab. Lalu jawaban yang melegakan kami dapatkan dari dokter bahwa Insha Allah ayah masih bisa berangkat. Setelah dirawat 4 hari akhirnya dokter mengijinkan ayah pulang dan dirawat di rumah. Setelah 2 hari tiba di rumah ayah berangsur-angsur pulih. Aku pun pulang kembali ke Palembang.

Kebetulan, pada tanggal 20 Maret 2014 diperintahkan pimpinan untuk tugas ke Jakarta. Terlintas di benakku untuk membeli kursi roda untuk ayah untuk jaga-jaga jika ayah tidak kuat berjalan. Melalui browsing di internet akhirnya kursi roda yang kupesan melalui COD diantar ke hotel. Kursi Roda ini nantinya sangat kubutuhkan dan sangat membantu pelaksanaan umroh ayah. Di Madinah kursi roda ini sempat hilang saat kami tinggalkan untuk makan malam di hotel (Akan kuceritakan nanti bagaimana kejadiannya sehingga kursi roda itu dapat kembali lagi).

Berikut timeline 18 hari terakhir bersama ayah tercinta:

 Jumat, 21 Maret

Pukul 20.00 WIB Kereta Api ke Tanjung Karang berangkat dari Palembang dengan membawa kursi roda dan perlengkapan umroh. Tiba di Stasiun Tanjung Karang hari Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB dijemput kakak keduaku.

Hari Pertama: Sabtu, 22 Maret 2014

Tiba di rumah orang tua dan kuperlihatkan tas cabin dan perlengkapan umrohnya. Betapa senang melihat ayah tersenyum seperti membayangkan keberangkatan ke Baitullah. Aku menjelaskan dan memperagakan cara memakai kain ihram kepada ayah. Ayah menolak menggunakan kursi roda saat umroh nanti dengan alasan masih kuat. Padahal kulihat gerakannya sudah makin melambat.

Siang itu aku disibukkan dengan packing perlengkapan dan kebutuhan umroh. Adikku yang perawat memberitahu penanganan yang terjadi jika ayah terkena serangan jantung. Obat-obatan yang harus dimakan ayah sudah disiapkan.

Hari ke 2: Minggu, 23 Maret 2014

Kami berangkat ke Bandara Radin Inten II diantar oleh ibu, kakak keduaku dan adik-adikku. Sebelum keberangkatan ayah kena serangan jantung di bandara, untungnya masih ada adikku sehingga segera tertangani. Setelah delay sekitar 30 menit, sekitar pukul 19.05 WIB berangkat ke Jakarta dengan pesawat Garuda yang sudah kupesan 2 minggu lalu.

Pesawat menuju Jeddah
Di Pesawat menuju Jeddah

Pukul 21.00 WIB tiba di hotel dan beristirahat. Selesai shalat Isya’ serangan jantung ayah kambuh lagi. Panik, karena inilah pengalaman pertama harus memberikan pertolongan kepada ayahku. Segera memberikan obat dan membaluri tubuh ayah dengan balsem gosok seperti diajarkan adik. Akhirnya ayah tertidur dan malam itu kami dapat beristirahat dengan baik.

Hari ke 3: Senin, 24 Maret 2014

Pukul 13.00 WIB berkumpul di Bluesky Lounge Bandara Soekarno-Hatta bergabung dengan rombongan, checking bagasi dan dokumen umroh. Kursi roda masuk bagasi. Pukul 17.45 WIB boarding menuju Jeddah dengan Emirates Airline dan transit di Dubai sekitar 2,5 jam.

Menuju Jeddah via Dubai
Menuju Jeddah via Dubai

Betapa senangnya aku dapat melihat ayah tersenyum saat di pesawat yang akan membawa kami ke Jeddah. Bahagia rasanya dapat menunaikan janji dan berangkat umroh dengan ayah tercinta. Aku berdoa semoga kami berdua dapat menyelesaikan rangkaian ibadah umroh dan kembali berkumpul dengan keluarga besar di Indonesia.

Bandara Dubai

Sekitar pukul 23.30 waktu setempat tiba di Dubai Airport Uni Emirat Arab (UEA). Istirahat sejenak lalu dilanjutkan dengan memakai ihram karena miqat berada di antara penerbangan Dubai – Jeddah. Pelayanan petugas di bandara ini sangat baik. Mereka menyediakan kursi roda dan petugasnya dan mobil listrik untuk mengantar penumpang yang sudah lanjut usia. Semua pelayanan ini gratis. Mereka juga memberikan prioritas pada saat antrian boarding.

 Hari ke 4: Selasa, 25 Maret 2014

Pada pukul 03:40 waktu setempat pesawat Emirates Airline yang kami naiki mendarat di King Abdul Aziz International Airport Jeddah (KSA). Banyak rombongan jemaah umroh dari berbagai negara mendarat bersamaan kami tiba. Antrian pemeriksaan paspor di terminal kedatangan jemaah umroh sudah panjang dan semakin panjang seiring datangnya pesawat saat itu.

Antrian Imigrasi
Antrian Panjang di Loket Imigrasi Bandara Jeddah

Di sinilah ujian kesabaran pertama dimulai. Antrian di depan kami ada sekitar 20 orang, namun kami baru keluar loket/counter imigrasi sekitar pukul 08.00 WIB. Artinya butuh waktu sekitar 4 Jam untuk melewatkan antrian sebanyak 20 orang. Sungguh menguji kesabaran para tamu Allah.

Lamanya waktu pelayanan imigrasi bukan karena banyaknya orang yang dilayani atau lamanya pemeriksaan dokumen, tetapi karena cara kerja petugasnya yang seenak udelnya. Loket lebih banyak kosong ditinggal petugas, kalaupun ada petugas melayani 2 – 3 orang trus ditinggal lama ngoborol dengan temannya, main hape, atau pergi gak jelas kemana. Balik lagi melayani 2 – 3 orang kembali lagi loket kosong gak jelas. Benar-benar memancing emosi dan menguras tenaga berdiri berjam-jam dan dicuekin.

Antrian Imigrasi Bandara Jeddah
Antrian Imigrasi Bandara Jeddah

Di antara antrian jemaah umroh ada banyak orang lanjut usia, berkursi roda dan wanita yang harus mengalami pelayanan imigrasi seperti ini. Aku prihatin melihat kondisi mereka dan ayahku yang kelelahan duduk di kursi roda setelah menempuh perjalanan berjam-jam di pesawat, tiba di waktu subuh kemudian antri dengan waktu yang gak tau kapan selesainya.

Aku berinisiatif mencari petugas imigrasi yang mungkin bisa memberikan prioritas kepada orang sakit, orang tua, wanita dan berkebutuhan khusus (difabel). Ada dua petugas yang kudatangi namun jawabannya sangat mengecewakan, yaitu tidak ada prioritas alias antrilah seperti yang lain. Akhirnya kami tetap mengikuti antrian yang makin panjang mengular dengan membesarkan hati untuk menerima ujian kesabaran yang diberikan Allah melalui petugas-petugas itu.

Bandara King Abdul Aziz Jeddah
Bandara King Abdul Aziz Jeddah

Setelah rombongan kami dinyatakan lengkap, sekitar pukul 08.30 bis yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan bandara Jeddah menuju Mekkah al-Mukarramah. Sekitar pukul 10.00 bus tiba di hotel Saraya Iman tempat rombongan umroh kami menginap selama di Mekkah. Saat turun dari bis menuju lobby hotel, untuk ketiga kalinya ayah terkena serangan jantung. Panik lagi !!! Aku coba untuk menenangkan diri sembari memberikan obat dan mengusapi tubuh ayah dengan balsem gosok. Setelah makan siang dan mendapat kamar kami beristirahat sejenak dan membawa barang-barang kami ke kamar.

Suasana Sekitar Hotel di Mekkah
Suasana Sekitar Hotel di Mekkah

Setelah kondisi ayah kembali normal, sekitar pukul 14.00 kami bersiap shalat Zuhur di Masjidil Haram dan dilanjutkan dengan prosesi ibadah umroh. Dengan menggunakan kursi roda kami berangkat menuju Masjidil Haram yang berjarak sekitar 400 m dari hotel. Setelah memasuki masjidil Haram kami dapat melihat Ka’bah secara langsung dan dari dekat. Tak terasa air mata menetes. Ka’bah yang selama ini hanya dapat kami bayangkan atau melihat gambarnya, sekarang ada di depan mata kami. Bahagia, senang dan haru bercampur di dalam hati.

Menuju Masjidil Haram untuk memulai Umroh
Menuju Masjidil Haram untuk memulai Umroh
Di Hadapan Ka'bah
Di Hadapan Ka’bah

Kami segera menunaikan shalat Zhuhur, kemudian dilanjutkan dengan Tawaf. Dengan memakai kain ihram dan mendorong ayah di kursi roda kami melaksanakan Tawaf mengelilingi Ka’bah 7 kali di lintasan khusus kursi roda. Adanya lintasan ini sangat membantu jamaah yang berkursi roda sehingga tidak berdesak-desakan dengan jamaah lainnya. Ada kemudahan lain yang kami temui disini, disaat kehausan melaksanakan tawaf pada suatu putaran tiba-tiba di putaran berikutnya ada petugas yang membagikan air zam-zam kemasan botol.

Aku dan Ayahku
Aku dan Ayahku

Jika dihitung-hitung jarak yang kutempuh saat tawaf sambil mendorong kursi roda sekitar 7 x 250 meter = 1.750 meter = 1,75 km. Terik matahari yang bersinar siang itu tidak menjadi hambatan bagi kami dan jamaah lain untuk terus menyelesaikan tawaf. Selesai berdoa dan shalat sunah 2 rakaat kami melanjutkan rangkaian berikutnya, yaitu Sa’i.

Selesai Tawaf
Selesai Tawaf

Kami segera menuju bukit Shafa dan Marwah yang masih dalam satu komplek bangunan Masjidil Haram. Sa’i adalah suatu ibadah yang mengikuti tapak tilas isteri Nabi Ibrahim (Siti Hajar) yang mencari air minum untuk putranya dengan berlari-lari dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak 7 kali. Dimulai dari Bukit Shafa dan diakhiri di Bukit Marwah pada hitungan ke 7 dari putaran Sa’i. Lintasan untuk kursi roda disediakan di bagian tengah lintasan. Jarak antara Shofa dan Marwah sekitar 405 meter. Sehingga jarak yang kutempuh bersama ayah di kursi roda adalah 7 x 405 m = 2.835 meter = 2,835 km.

Melaksanakan Sa'i
Melaksanakan Sa’i

Ketika Sa’i kami sempat beberapa kali berhenti untuk beristirahat sejenak menghilangkan lelah sambil minum air Zam-Zam yang banyak tersedia di kiri dan kanan lintasan Sa’i untuk kursi roda. Di sisi lintasan tengah Sa’i sebenarnya banyak orang/petugas yang menyediakan jasa mendorong kursi roda bagi jamaah umroh yang tidak sanggup berjalan dengan biaya tertentu. Mereka sudah standby di sana lengkap dengan kursi rodanya. Ciri-ciri penyedia jasa ini adalah mereka memakai rompi berwarna hijau dan biasanya mereka duduk di atas kursi rodanya sembari menunggu pengguna jasa mereka. Namun aku merasa masih sanggup melaksanakan Sa’i sambil mendorong kursi roda ayah walaupun diselingi beberapa kali jeda istirahat. Sehingga kami dapat bersama-sama menyelesaikan rangkaian ibadah umroh.

Ayah+Aku Sai
Aku dan Ayahku usai Sa’i

Rangkaian ibadah umroh diakhiri dengan Tahalul (memotong rambut kepala). Alhamdulillah, lega sekali dapat menyelesaikan rangkaian ibadah umrohku dan ayah. Lelah yang mendera terbayar dengan kepuasan bathin atas kesempatan yang kami rindukan selama ini. Sambil beristirahat kami menantikan shalat Ashar di Masjidil Haram. Selesai shalat Ashar kami kembali ke hotel untuk beristirahat. Selanjutnya melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ di Masjidil Haram yang berjarak sekitar 400 m dari hotel kami. Sungguh hari yang menguras emosi dan tenaga…. Walaupun demikian aku bersyukur kondisi ayah baik-baik saja dan penyakit jantungnya tidak kambuh hingga selesainya rangkaian ibadah umroh hari pertama.

Tips mendorong kursi roda dengan aman:

  1. Jaga jarak yang cukup dengan orang yang mendorong kursi roda/jamaah lain di depan kita agar tidak tertabrak kursi roda yang kita dorong.
  2. Jaga jarak yang cukup dengan kursi roda yang ada di belakang kita agar kita tidak tertabrak kursi roda tersebut. Tumit kaki bisa berdarah dan terasa sakit/perih jika tertabrak.
  3. Jaga kecepatan mendorong kursi roda disesuaikan dengan arus jamaah lain yang tawaf di depan kita agar tidak nabrak/ditabrak.

Bersambung ke Bagian II ……….

4 thoughts on “My Father – I

    katamiqhnur.com said:
    11 February 2015 at 5:11 PM

    salam kenal yaa pak, mampir ke blog MiQHNuR yaa..
    di jamin bapak nggak bakalan rugi deh. hiiks…
    katamiqhnur.com

      bsm@iwftc responded:
      12 February 2015 at 3:26 AM

      Terima kasih sudah mampir mas. Blognya mas MiQHNuR sangat variatif isinya ya…. Selamat berkarya.

        katamiqhnur.com said:
        12 February 2015 at 10:29 AM

        hahaha. nggak juga ahk..
        sering visit ke situ yaa..
        hiikss….

          bsm@iwftc responded:
          16 February 2015 at 12:31 AM

          Sempat baca-baca isi blognya sih.

Silahkan tinggalkan komentar anda. No SARA dan Iklan.